Benarkah Perkara Perubahan Biodata Kewenangan Pengadilan Agama?
Ms-Takengon.net. Pernah ada artikel di badilag yang membahas tentang permasalahan perubahan biodata. Namun di sana seolah-olah hanya ada pasal 34 ayat 2 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 sebagai landasan hukum terkait perubahan biodata. Artikel tersebut membahas apakah perubahan biodata termasuk kewenangan PA atau PTUN. Padahal ada UU no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil. Dua peraturan yang secara hirarki ada di atas Peraturan Menteri Agama, yang ternyata tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Agama tersebut. Dalam tulisan ini akan kami sampaikan sebatas apa yang kami ketahui tentang permasalahan perubahan biodata.
Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana. Pencatatan sipil menjadi penting dalam system adminsitrasi kependudukan dalam suatu Negara hukum, karena apapun dipandang sah secara hukum jika bisa dibuktikan dengan adanya dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.
Dalam pasal 34 ayat 2 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, “Perubahan yang menyangkut biodata suami, isteri ataupun wali harus berdasarkan kepada putusan Pengadilan pada wilayah yang bersangkutan.” Sebelumnya, dalam pasal 1 ayat 5 dijelaskan: “Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.”
Dengan adanya peraturan menteri agama tersebut, menjadi dasar bagi pejabat pencatat nikah di KUA Kecamatan untuk menolak melakukan perubahan data dalam buku nikah tanpa adanya penetapan Pengadilan Agama. Dalam pelaksanaannya pun tidak dibedakan antara perubahan yang menyangkut dengan perubahan biodata yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya (contoh: Jono Pranoto menjadi Tomo Subagyo), dan perubahan yang menyangkut kesalahan tulis redaksional (Marzuki Ali tetapi ditulis Marjuki Aly). Oleh pihak KUA kecamatan, kesemuanya haruslah berdasarkan Putusan Pengadilan Agama.
Padahal seharusnya diambil langkah penyelesaian yang berbeda terhadap dua macam perubahan tersebut.
Perubahan Biodata yang Sama Sekali Berbeda Dengan Sebelumnya
Dalam Pasal 52 ayat (1) UU no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dijelaskan:
Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat pemohon.
Dalam pasal 93 angka (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil menjelaskan: “Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi syarat berupa:
a. salinan penetapan pengadilan negeri tentang perubahan nama;
b. Kutipan Akta Catatan Sipil;
c. Kutipan Akta Perkawinan bagi yang sudah kawin;
d. fotokopi KK; dan
e. fotokopi KTP.
Kedua peraturan tersebut tidak membedakan antara yang beragama Islam maupun non islam sehingga berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia.
Namun dari pengalaman di satker kami PA Wates, pernah menerima perkara permohonan perubahan biodata walaupun jelas-jelas sudah ada salinan Penetapan Pengadilan Negeri tentang pengesahan perubahan nama Pemohon. Ya mau bagaimana lagi, kalau tidak diterima maka tidak ada jalan keluar bagi yang bersangkutan karena pihak KUA Kecamatan bersikeras tidak mau melakukan perubahan dalam buku nikah tanpa adanya penetapan dari Pengadilan Agama. Kami pikir, hal tersebut merupakan kerancuan yang ditimbulkan akibat adanya Permenag pasal 34 ayat 2 karena bagaimanapun perubahan nama jelas merupakan kewenangan Pengadilan Negeri sesuai dengan apa yang diatur dalam UU no. 23 tahun 2006 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 sebagaimana tersebut diatas, bukan Pengadilan Agama, yang mana penggunaan dari penetapan Pengadilan Negeri tersebut tidak hanya terbatas pada perubahan dalam buku nikah, namun juga meliputi dokumen administrasi lainnya.
Perubahan Biodata yang Menyangkut Kesalahan Tulis Redaksional
Dalam Pasal 71 UU no. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dijelaskan bahwa
(1) Pembetulan akta Pencatatan Sipil hanya dilakukan untuk akta yang mengalami kesalahan tulis redaksional.
(2) Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan atau tanpa permohonan dari orang yang menjadi subjek akta.
(3) Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil sesuai dengan kewenangannya.
Selanjutnya dalam pasal 100 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, menjelaskan
(1) Pembetulan akta pencatatan sipil dilakukan oleh pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana yang menerbitkan Akta Pencatatan Sipil baik inisiatif Pejabat Pencatatan Sipil atau diminta oleh penduduk .
(2) Pembetulan akta pencatatan sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kesalahan tulis redaksional dan belum diserahkan kepada pemegang, dilakukan dengan mengacu pada:
dokumen a utentik yang menjadi persyaratan penerbitan akta pencatatan sipil;
dokumen dimana terdapat kesalahan tulis redaksional.
(3) Pembetulan akta pencatatan sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kesala han tulis redaksional yang telah diserahkan kepada pemegang, dilakukan setelah memenuhi syarat berupa :
dokumen autentik yang menjadi persyaratan penerbitan akta pencatatan sipil;
kutipan akta dimana terdapat kesalahan tulis redaksional.
Baik dalam UU no. 23 tahun 2006 maupun Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008 sama-sama menjelaskan bahwa pembetulan akta dilakukan untuk akta yang mengalami kesalahan tulis redaksional, dilakukan dengan atau tanpa permohonan dari orang yang menjadi subjek akta, oleh Pejabat Pencatatan Sipil sesuai dengan kewenangannya. Sebelumnya pada pasal 8 angka (2) UU no. 23 tahun 2006 disebutkan : “Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi Penduduk yang beragama Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUAKec.
Pada kenyataannya, hampir semua permohonan perubahan biodata di satker kami PA Wates adalah perubahan yang bersifat kesalahan tulis redaksional semata dan KUA sama sekali tidak memberikan pelayanan mengenai hal tersebut jika tidak ada putusan dari Pengadilan Agama. Lagi-lagi karena merujuk pada Permenag Nomor 11 Tahun 2007 pasal 34. Padahal dalam pasal 101 Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008 menjelaskan
“Pembetulan akta pencatatan sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3), dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil dengan tata cara:
mengisi dan menyerahkan formulir pembetulan akta pencatatan sipil dengan melampirkan dokumen dimana terdapat kesalahan tulis redaksional dan menunjukkan dokumen autentik yang menjadi persyaratan penerbitan pencatatan sipil;
Pejabat pencatatan sipil membuat akta pencatatan sipil baru untuk menggantikan akta pencatatan sipil dimana terdapat kesalahan tulis redaksional, dan menarik serta mencabut akta pencatatan sipil lama dari pemohon;
Pejabat pencatatan sipil membuat catatan pinggir pada register akta pencatatan sipil yang dicabut sebagaimana dimaksud pada huruf b mengenai alasan penggantian dan pencabutan akta pencatatan sipil.
Dari ketentuan tersebut diatas, seharusnya proses yang seharusnya ditempuh oleh Pemohon perubahan biodata yang menyangkut kesalahan tulis redaksional tidaklah seberat apa yang diharuskan oleh Permenag RI Nomor 11 Tahun 2007, dan/atau penerapan yang dilaksanakan oleh PPN KUA (mengharuskan melalui sidang Pengadilan Agama);
Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008, pasal 1 angka (15): “Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang – undangan.
Pejabat PPN KUA juga termasuk dalam kategori Pejabat pencatatan sipil karena dalam pasal 1 angka (20) Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008 disebutkan “Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUAKec, adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam.
Sehingga ketentuan yang ada dalam Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008 pasal 101 tersebut juga mengikat bagi PPN KUA Kec.
Bandingkan pula ketentuan Perpres tersebut pasal 101 huruf b yang menyebutkan “Pejabat pencatatan sipil membuat akta pencatatan sipil baru untuk menggantikan akta pencatatan sipil dimana terdapat kesalahan tulis redaksional, dan menarik serta mencabut akta pencatatan sipil lama dari pemohon”, dengan Pasal 34 (1) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007: “Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang salah dengan tidak menghilangkan tulisan salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannnya dengan dibubuhi paraf oleh PPN, dan diberi stempel KUA.
Dari banyak perbandingan diatas, pasal 34 Permenag RI Nomor 11 Tahun 2007 dalam banyak hal bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan diatasnya secara hirarki (UU no. 23 tahun 2006 dan Perpres RI Nomor 25 Tahun 2008), dan juga kurang memberikan pelayanan yang baik dengan hanya mencoret sana coret sini, yang diaplikasikan dengan sama sekali tidak memberikan pelayanan mengenai hal tersebut jika tidak ada putusan dari Pengadilan Agama sehingga memberatkan masyarakat. Jika memang pasal 34 Permenag RI Nomor 11 Tahun 2007 dipandang sebagai “lex specialis”nya PPN KUA maka hal itu akan menjadi sesuatu yang diskriminatif bagi masyarakat yang pernikahannya tercatat di KUA Kecamatan.
Saran dari kami, mohon untuk Permenag RI Nomor 11 Tahun 2007 ini ditinjau ulang dengan mengingat serta menimbang Peraturan Perundang-Undangan di atasnya sehingga tidak ada kerancuan yang berakibat diskriminasi dan peng”anak-tiri”an untuk saudara sesama muslim di Negara Republik Indonesia tercinta ini.
Sumber : Pa-Wates.net